Krisis Moral Di Era Digitalisasi Pendidikan Selama Masa Pandemi

 


Masa pandemic mengharuskan seluruh kegiatan untuk tetap dikerjakan dirumah. Pekerjaan mulai fleksibel asalkan semua selesai dengan batas waktu yang di tentukan. Begitu pula sekolah, pembelajarannya dilakukan dengan metode daring atau biasa di sebut metode dalam jaringan. Metode ini tidak mengharuskan siswa untuk pergi ke sekolah. Siswa hanya dirumah dengan memanfaatkan kuota internet dan berbagai aplikasi sebagai penujangnya. Begitu pula tenaga pendidik, dapat memberikan materi pelajaran dimanapun keberadaannya. Namun, yang menjadi permasalahan siswa tak mampu menangkap pelajaran yang diberikan oleh bapak/ibu guru nya. Sehingga timbul rasa malas hingga tak mengerjakan tugas. Dari rasa malas tersebut membuat siswa jenuh dirumah.

Disisi lain, krisis moral siswa mejadi sebuah ancaman besar untuk generasi bangsa. Hal ini disebabkan karena adanya digitalisasi dan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi mendorong khalayak umum untuk merubah sebuah tradisi yang selama ini dilakukan. Misalnya, dulu kalau membeli keperluan rumah tangga selalu ke pasar. Kemudian, mengambil uang lewat bank, beli baju dengan pergi ke toko, naik ojek dan lain-lain. Namun, hal ini menjadi berubah total ketika perlahan ketika teknologi mulai berkembang. Semua transaksi berubah menjadi digital seperti halnya: belanja baju, belanja kebutuhan sehari-hari, pembayaran listrik, naik ojek online dll.

Kegiatan tersebut, menimbulkan rasa ketergantungan terhadap kemudahan teknologi yang di suguhkan saat ini. Selain itu, kita dibuat nyaman dengan adanya teknologi saat ini. Kenyamanan saat ini membuat kita abai terhadap kehidupan sosial yang sesungguhnya. Hal ini terbukti dan terpampang nyata saat sedang bertemu dengan kawan, sahabat, kolega ataupun keluarga. Kita tak dapat memanfaatkan waktu luang tersebut namun, nyatanya asyik dengan smart phone masing-masing serta sibuk dengan membuat story di media sosial masing-masing. Seolah-olah yang berada di dekat kita berada dalam jarak yang sangat jauh, dan begitu pula yang jauh merasa sangat dekat.

Kemudahan teknologi membuat kita merasa sangat jauh dengan kebiasaan yang selalu dikerjakan. Saat ini orang di sibukkan dengan smart phone yang dimilikinya masing-masing. Sehingga lupa dengan marwah nya sebagai makhluk sosial. Artinya, mereka tak membutuhkan dan  memperhatikan norma-norma yang terbentuk di sekitarnya. Seolah-olah tak membutuhkan bantuan orang lain, serta mampu mengerjakan sendirinya. Padahal, secara nyatanya manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Karena, manusia hidup di dunia ini saling membutuhkan bantuan orang lain. Kalau kita hidup hanya asyik dengan medsos/media sosial dengan kehidupan virtualnya apakah menjadi jaminan untuk hidup bisa berdampingan dengan orang lain?. Tentunya tidak, Sebab medsos tak menjamin pada kehidupan nyata kita. Jika tidak di imbangi bersilaturahim, bercengkerama dengan sanak saudara di kehidupan nyata.

Dari hasil pengamatan saya dilapangan, bahwa krisis moral di era digitalisasi nyata adanya. Ditambah dengan selama masa pandemic covid-19 yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hal ini disebabkan minimnya interaksi secara nyata terhadap lingkungan sekitar. Sehingga, semua dilakukan dengan daring. Bagi orang dewasa yang melek teknologi tentunya hal ini bukanlah menjadi sebuah masalah. Sebab, dengan kehadiran teknologi sebagaian besar orang dimudahkan untuk akses dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini menjadi masalah besar untuk anak-anak yang menginjak usia remaja serta anak-anak yang masih kecil. Terutama, jika tidak didampingi oleh orang tuanya dalam penggunaan smart phone. Sebab, anak-anak cenderung membenarkan semua konten yang ia lihat maupun sedang ia tonton. Lebih parahnya, jika anak-anak sampai menirukan perilaku kurang sopan yang terdapat dalam konten tersebut. Kemudian, terjerumus kedalam pergaulan bebas yang ia anggap sebagai sebuah kegiatan yang baik dan dapat mengurangi beban hidupnya. Hal ini menjadi pekerjaan khusus bagi orang tua serta tenaga pendidik untuk menjaga krisis moral tersebut agar tidak merajalela. Penyakit krisis moral ini patut menjadi konsen utama ketika pembelajaran tatap muka terbatas sudah dimulai. Sebelum merambah pada hal-hal yang berbau dengan kenakalan remaja setidaknya, ketika sudah masuk anak-anak dibentengi terlebih dahulu dengan pendampingan dan pendalaman akhlaq. (Laila)

Komentar

  1. Sungguh iya Buk..... Semoga pandemi cepat berlalu, dan anak-anak hari harinya tidak lagi habis dengan HP...

    BalasHapus

Posting Komentar